Kamis, 24 Maret 2011

MEKANISME NYERI

PENDAHULUAN
Nyeri dikatakan sebagai salah satu tanda alami dari suatu penyakit yang paling pertama muncul dan menjadi gejala yang paling dominan diantara pengalaman sensorik lain yang dinilai oleh manusia pada suatu penyakit. Nyeri sendiri dapat diartikan sebagai suatu pengalaman sensorik yang tidak mengenakkan yang berhubungan dengan suatu kerusakan jaringan atau hanya berupa potensi kerusakan jaringan. (1)
Walaupun ketidaknyamanan dari suatu nyeri, nyeri dapat diterima oleh seorang penderitanya sebagai suatu mekanisme untuk menghindari keadaan yang berbahaya, mencegah kerusakan lebih jauh, dan untuk mendorong proses suatu penyembuhan. Nyeri membuat kita menjauhkan diri dari hal berbahaya yang dapat menyebabkan stimulus noksius yaitu akar dari suatu nyeri. (2)
Nyeri sendiri menurut patofisiologinya dapat dibagi atas 4, yaitu
a. Nyeri nosiseptif atau nyeri inflamasi, yaitu nyeri yang timbul akibat adanya stimulus mekanis terhadap nosiseptor
b. Nyeri neuropatik, yaitu nyeri yang timbul akibat disfungsi primer pada system saraf.
c. Nyeri idiopatik, nyeri dimana kelainan patologik tidak dapat ditemukan
d. Nyeri psikologik, bersumber dari emosi/psikis dan biasanya tidak disadari (3)
Walaupun perbedaan antara nyeri secara umum dan nosisepsi telah diketahui orang yang mendalami ilmu nyeri, penulis penelitian terkadang masih menganggap nyeri sebagai sinonim dari nosisepsi. Nosisepsi mengandung pengertian deteksi dari kerusakan jaringan oleh aktivasi nosiseptor dan transmisi sinyalnya ke dalam sistem saraf, sedangkan nyeri secara umum merupakan suatu fenomena yang kompleks berupa pengalaman tidak nyaman yang berhubungan dengan trauma jaringan. Nosisepsi terjadi tanpa disadari begitu terpapar oleh stimulus sedangkan timbulnya nyeri tidak pernah lepas dari kesadaran yang mempunyai manifestasi sensorik, emosional, dan kognitif. (3)
Dalam refarat ini akan lebih dijelaskan tentang mekanisme dari nyeri nosiseptif dan bagaimana memberikan penatalaksanaan yang tepat untuk meringankan atau menghilangkannya
DEFINISI
Nyeri nosiseptif merupakan suatu nyeri yang ditimbulkan oleh suatu rangsangan pada nosiseptor. Nosiseptor ini merupakan suatu ujung saraf bebas yang berakhir pada kulit untuk mendeteksi suatu nyeri kulit. Nosiseptor juga terdapat pada tendon dan sendi, untuk mendeteksi nyeri somatik dan pada organ tubuh untuk mendeteksi nyeri visceral. Reseptor nyeri ini sangat banyak pada kulit, sehingga suatu stimulus yang menyebabkan nyeri sangat mudah dideteksi dan dilokalisasi tempat rangsangan tersebut terjadi pada kulit. Input noksius ditransmisikan ke korda spinalis dari berbagai ujung saraf bebas pada kulit, otot, sendi, dura, dan viscera. (3,4,5,6)
KOMPONEN NYERI NOSISEPTIF
Banyak teori berusaha untuk menjelaskan dasar neurologis dari nyeri nosiseptif, meskipun tidak ada satu teori yang menjelaskan secara sempurna bagaimana nyeri tersebut ditransmisikan atau diserap. Untuk memudahkan memahami fisiologinya, maka nyeri nosiseptif dibagi atas 4 tahapan yaitu :
§ Transduksi : Stimulus noksius yang kemudian ditransformasikan menjadi impuls berupa suatu aktifitas elektrik pada ujung bebas saraf sensorik.
§ Transmisi : Propagasi atau perambatan dari impuls tersebut pada sistem saraf sensorik
§ Modulasi : Proses interaksi antara sistem analgesik endogen dengan input nyeri yang masuk di kornu posterior medula spinalis
§ Persepsi: Adanya interaksi antara transduksi, transmisi, dan modulasi yang kemudian membentuk suatu pengalaman emosional yang subjektif. (7)
TRANSDUKSI
Pada nyeri nosiseptif, fase pertamanya adalah transduksi, konversi stimulus yang intens apakah itu stimuli kimiawi seperti pH rendah yang terjadi pada jaringan yang meradang , stimulus panas diatas 420C, atau kekuatan mekanis. Disini didapati adanya protein transducer spesifik yang diekspresikan dalam neuron nosiseptif ini dan mengkonversi stimulus noksious menjadi aliran yang menembus membran, membuat depolarisasi membran dan mengaktifkan terminal perifer.
Proses ini tidak melibatkan prostanoid atau produksi prostaglandin oleh siklo-oksigenase, sehingga nyeri ini, atau proses ini, tidak dipengaruhi oleh penghambat enzim COX-2. (7)
Neuron transduksi diperankan oleh suatu nosiseptor berupa serabut A-δ dan serabut C yang menerima langsung suatu stimulus noksius. (3)
Serabut A-δ merupakan suatu serabut saraf dengan tebal 1- 3 mm dan diliputi oleh selaput mielin yang tipis. Kecepatan transimisi impuls pada serabut A-δ adalah sekitar 20m/s. Seperti serabut sensorik lainnya, serabut A-δ merupakan perpanjangan dari pesudounipolar neuron dimana tubuh selnya berlokasi pada akar ganglion dorsal. (4)
Sedangkan serabut C merupakan suatu serabut saraf dengan tebal 1 mm dan tidak memiliki mielin. Karena serabut ini sangat tipis dan karena tidak memiliki mielin yang mempercepat transmisi saraf, kecepatan konduksi rendah, dan suatu rangsang berespon dengan kecepatan 1m/s. (4)
Serabut A-δ dan serabut C tidak hanya berbeda dalam struktur dan kecepatan transmisinya namun mereka juga mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mendeteksi suatu stimulus. Serabut A-δ mentransimsisikan nyeri tajam dan tusukan. dan serabut C menghantarkan sensasi berupa sentuhan, getaran, suhu, dan tekanan halus. Walaupun dengan adanya perbedaan ini, kedua tipe serabut ini memiliki jalur yang sama dalam menghantarkan stimulus yang terdeteksi. Rute dari impuls saraf ini biasanya disebut dengan ”jalur nyeri”. (8, 9)
Selain dari peran serabut A-δ dan serabut C, disebutkan juga terdapat peran dari neuroregulator yang merupakan suatu substansi yang memberikan efek pada transmisi stimulus saraf, biasanya substansi ini ditemukan pada nosiseptor yaitu akhir saraf dalam kornu dorsalis medulla spinalis dan pada tempat reseptor dalam saluran spinotalamik. Neuroregulator ada dua macam, yaitu neurotransmitter dan neuromodulator. Neurotransmitter mengirimkan impuls elektrik melewati celah synaptik antara 2 serabut saraf dan neuromodulator berfungsi memodifikasi aktivitas saraf dan mengatur transmisi stimulus saraf tanpa mentransfer secara langsung sinyal saraf melalui synaps (4)
TRANSMISI
Disini terjadi transfer informasi dari neuron nosiseptif primer ke neuron di kornu dorsalis, selanjutnya ke neuron proyeksi yang akan meneruskan impuls ke otak. Transmisi ini melibatkan pelepasan asam amino decarboxilic glutamate, juga peptida seperti substantia P yang bekerja pada reseptor penting di neuron post-sinaptic. Selanjutnya ini akan memungkinkan transfer yang cepat dari input mengenai intensitas, durasi, lokasi, dari stimuli perifer yang berbeda lokasi.
Secara umum, ada dua cara bagaimana sensasi nosiseptif dapat mencapai susunan saraf pusat, yaitu melalui traktus neospinothalamic untuk ”nyeri cepat – spontan” dan traktus paleospinothalamic untuk ”nyeri lambat”. (9)
Pada traktus neospinothalamik, nyeri secara cepat bertransmisi melalui serabut A-δ dan kemudian berujung pada kornu dorsalis di medulla spinalis dan kemudian bersinapsis dengan dendrit pada neospinothlamaik melalui bantuan suatu neurotransmitter. Akson dari neuron ini menuju ke otak dan menyebrang ke sisi lain melalui commisura alba anterior, naik keatas dengan columna anterolateral yang kontralateral. Serabut ini kemudian berakhir pada kompleks ventrobasal pada thalamus dan bersinapsis dengan dendrit pada korteks somatosensorik. Nyeri cepat-spontan ini dirasakan dalam waktu 1/10 detik dari suatu stimulus nyeri tajam, tusuk, dan gores. (9)
Pada traktus paleospinothalamik, nyeri lambat dihantarkan oleh serabut C ke lamina II dan III dari cornu dorsalis yang dikenal dengan substantia gelatinosa. Impuls kemudian dibawa oleh serabut saraf yang berakhir pada lamina V, juga pada kornu dorsalis, bersinaps dengan neuron yang bergabung dengan serabut dari jalur cepat, menyebrangi sisi berlawanan via commisura alba anterior dan naik ke aras melalui jalur anterolateral. Neuron ini kemudian berakhir dalam batang otak, dengan sepersepuluh serabut berhenti di thalamus dan yang lainnya pada medulla, pons, dan substantia grisea sentralis dari tectum mesencephalon. (9)
Sebenarnya terdapat beragam jalur khusus hantaran sinyal dari kerusakan jaringan dibawa ke berbagai tujuan, dimana dapat memprovokasi proses kompleks. Transmisi nosiseptif sentripetal memicu berbagai jalur : spinoreticular, spinomesencephalic, spinolimbic, spinocervical, dan spinothalamic. (9)
Traktus spinoreticular membawa jalur aferen dari somatosensorik dan viscerosensorik yang berakhir pada tempat yang berbeda pada batang otak. Traktus spinomesencephalik mengandung berbagai proyeksi yang berakhir pada tempat yang berbeda dalam nukleus diencephali. Traktus spinolimbik termasuk dari bagian spinohipotalamik yang mencapai kedua bagian lateral dan medial dari hypothalamus dan kemudian traktus spinoamygdala yang memanjang ke nukleus sentralis dari amygdala. Traktus spinoservikal, seperti spinothalamik membawa sinyal ke thalamus. (3)
MODULASI
Pada fase modulasi terdapat suatu interaksi dengan system inhibisi dari transmisi nosisepsi berupa suatu analgesic endogen. Konsep dari system ini yaitu berdasarkan dari suatu sifat, fisiologik, dan morfologi dari sirkuit yang termasuk koneksi antara periaqueductal gray matter dan nucleus raphe magnus dan formasi retikuler sekitar dan menuju ke medulla spinalis
Analgesik endogen meliputi :
- Opiat endogen
- Serotonergik
- Noradrenergik (Norepinephric)
Sistem analgesik endogen ini memiliki kemampuan menekan input nyeri di kornu posterior dan proses desendern yang dikontrol oleh otak seseorang, kornu posterior diibaratkan sebagai pintu gerbang yang dapat tertutup adalah terbuka dalam menyalurkan input nyeri. Proses modulasi ini dipengaruhi oleh kepribadian, motivasi, pendidikan, status emosional & kultur seseorang.

PERSEPSI
Fase ini merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri, pada saat individu menjadi sadar akan adanya suatu nyeri, maka akan terjadi suatu reaksi yang kompleks. Persepsi ini menyadarkan individu dan mengartikan nyeri itu sehingga kemudian individu itu dapat bereaksi. (8)
Fase ini dimulai pada saat dimana nosiseptor telah mengirimkan sinyal pada formatio reticularis dan thalamus, sensasi nyeri memasuki pusat kesadaran dan afek. Sinyal ini kemudian dilanjutkan ke area limbik. Area ini mengandung sel sel yang bisa mengatur emosi. Area ini yang akan memproses reaksi emosi terhadap suatu nyeri. Proses ini berlangsung sangat cepat sehingga suatu stimulus nyeri dapat segera menghasilkan emosi.  

PENANGANAN
Seperti yang kita ketahui bahwa nyeri klinis umumnya terdiri atas nyeri inflamasi dan nyeri neuropatik. Keduanya menunjukkan simtom yang sama tetapi berbeda dalam strategi pengobatan yang disebabkan perbedaan dalam patofisiologi. (9)
Nyeri nosiseptif timbul akibat stimulasi reseptor nyeri yang berasal dari organ visceral atau somatik. Stimulus nyeri berkaitan dengan inflamasi jaringan, deformasi mekanik, injuri yang sedang berlangsung atau destruksi. Oleh karena itu penting untuk mencari dan mengobati jaringan yang rusak atau yang mengalami inflamasi sebagai penyebab nyeri. Sebagai contoh, pasien datang dengan nyeri nosiseptif akibat polymyalgia rheumatic maka diberikan kortikosteroid sistemik. Akan tetapi, sementara mencari penyebab nyeri, tidak ada pendapat yang melarang pemberian analgesik untuk mengurangi nyeri. 10,11
Nyeri nosisepsi ini sendiri dapat berupa akut maupun kronik. Beberapa literatur mengemukakan bahwa nyeri nosisepsi yang akut itu berupa kerusakan soft tissue, atau inflamasi. Hal ini lebih mudah ditangani, yaitu dapat dengan menghilangkan penyebab nyeri itu sendiri misalnya seperti yang dikemukakan diatas, yaitu dengan pemberian opioid misalnya morfin, sedangkan yang non-opioid dapat berupa aspirin yang mekanisme kerjanya menginhibisi sintesis prostaglandin dan AINS, parasetamol. Selain itu dapat juga diberikan analgesia regional baik secara sederhana yaitu dengan blok saraf dan anestesi lokal, maupun dengan teknologi tinggi berupa epidural infussion dan anastetik opioid lokal.
Untuk nyeri nosisepsi kronik, penanganannya berupa terapi farmaka, blok transmisi saraf, dan alternatif. 12
Terapi farmaka terdiri dari
· Terapi analgesik seperti NSAID/ Paracetamol-opiod
· Terapi analgesik ajuvan, seperti antidepresan, antikonvulsan
Terapi blok transmisi
· Irreversibel, yaitu operasi dan destruksi saraf.
· Reversibel, yaitu injeksi anestesi lokal
Terapi alternatif
· Stimulator
· Akupuntur
· Hipnosis
· Psikologi
Tujuan keseluruhan dalam pengobatan nyeri adalah mengurangi nyeri sebesar-besarnya dengan kemungkinan efek samping paling kecil. Terdapat dua metode umum untuk terapi nyeri : farmakologik dan non farmakologik.13
Pendekatan farmakologik 13,14
Terapi secara farmakologis pada nyeri inflamasi yang utama adalah OAINS, COX-2 inhibitors(coxib), analgetika opioid , dan analgetika adjuvan. Nyeri akut dan nyeri kronik memerlukan pendekatan terapi yang berbeda. Pada penderita nyeri akut, diperlukan obat yang dapat menghilangkan nyeri dengan cepat. Pasien lebih dapat mentolerir efek samping obat daripada nyerinya. Pada penderita kronik, pasien kurang dapat mentolerir efek samping obat. Istilah “pukul dulu, urusan belakang” tampak cukup tepat untuk menggambarkan prinsip tatalaksana nyeri akut. Prinsip pengobatan nyeri akut dan berat (nilai Visual Analogue Scale = VAS 7-10) yaitu pemberian obat yang efek analgetiknya kuat dan cepat dengan dosis optimal. Pada nyeri akut, dokter harus memilih dosis optimum obat dengan mempertimbangkan kondisi pasien dan keparahan nyeri. Pada nyeri kronik, dokter harus mulai dengan dosis efektif yang serendah mungkin untuk kemudian ditingkatkan sampai nyeri terkendali. Pemilihan obat awal pada nyeri kronik ditentukan oleh keparahan nyeri. Protokol ini dikenal dengan nama WHO analgesic ladder.
Analgesik nonopioid 11,13
Langkah pertama, sering efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan sampai sedang, menggunakan analgesik nonopioid, terutama asetaminofen(Tylenol) dan OAINS. OAINS sangat efektif untuk mengatasi nyeri akut derajat ringan, penyakit meradang yang kronik seperti arthritis, dan nyeri akibat-kanker yang ringan. OAINS menghasilkan analgesia dengan bekerja di tempat cedera melalui inhibisi sintesis prostaglandin dari prekursor asam arakidonat. Dengan demikian, OAINS mengganggu mekanisme
nosiseptor aferen primer dengan menghambat sintesis prostaglandin. Efek samping yang sering adalah iritasi GI/ulkus peptikum dan menghambat agregasi platelet. Inhibitor COX-2 spesifik (seperti celecoxib dan lumiracoxib) mengurangi resiko efek samping tersebut. Inhibitor COX-2 bersifat selektif karena hanya menghambat jalur COX-2. Tidak terpengaruhnya jalur COX-1 ini melindungi produk-produk prostaglandin yang “baik” yang diperlukan untuk fungsi fisiologis seperti melindungi mukosa lambung dan filtrasi glomerulus di ginjal.
Analgesik Opioid 11,13,15,16
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat-sifat seperti opium atau morfin. Opioid saat ini adalah analgesik paling kuat yang tersedia dan
digunakan dalam penatalaksanaan nyeri sedang-berat sampai berat. Analgesik opioid efektif dalam penanganan nyeri nosiseptif maupun neuropatik. Obat-obat ini merupakan patokan dalam pengobatan nyeri pascaoperasi dan nyeri terkait kanker. Morfin adalah salah satu obat yang paling luas digunakan untuk mengobati nyeri berat dan masih menjadi standar pembanding untuk menilai obat anlgesik lain.
Berbeda dengan OAINS yang bekerja di perifer, morfin menimbulkan efek analgesiknya di sentral. Mekanisme pasti kerja opioid telah semakin jelas sejak penemuan reseptor-reseptor opuioid endogen di sistem limbic, thalamus, PAG, substansia gelatinosa kornu dorsalis, dan usus. Opioid eksogen seperti morfin menimbulkan efek dengan mengikat reseptor opioid endogen (endorphin-enkefalin); yaitu morfin memiliki efek agonis (meningkatkan kerja reseptor). Dengan mengikat reseptor opioid di nucleus modulasi nyeri di batang otak, morfin menimbulkan efek pada system-sistem desndens yang menghambat nyeri. Di tingkat kornu dorsalis medulla spinalis, morfin juga dapat menghambat transmisi impuls nosiseptor yang dating dengan mengikat reseptor opioid di substansia gelatinosa.
Obat-obat golongan opioid memiliki pola efek samping yang sangat mirip, termasuk depresi pernapasan, mual, muntah, sedasi, dan konstipasi. Selain itu, semua opioid berpotensi menimbulkan toleransi, ketergantungan, dan ketagihan (adiksi).
Adjuvan atau koanalgesik 10,13
Obat adjuvan atau koanalgetik adalah obat yang semula dikembangkan untuk tujuan selain menghilangkan nyeri tetapi kemudian ditemukan memiliki sifat analgetik atau efek komplementer dalam penatalaksanaan pasien dengan nyeri.
Nyeri tulang tipikal tidak dapat sepenuhnya dikontrol dengan pemberian narkotik. Oleh karena itu, obat adjuvan ditambahkan pada regimen narkotik. Terapi adjuvan lini pertama pada nyeri tulang adalah OAINS dan kortikosteroid seperti prednison (30-60 mg/hari per oral), dexametason (decadron; 16 mg/hari per oral) dan methlprednisolone (medrol; 120 mg/hari per oral).
Adjuvan lain untuk analgesik adalah agonis reseptor adrenergic-alfa (misalnya, agonis alfa-2, klonidin), yang sering diberikan secara intraspinal bersama dengan opioid atau analgesik local; obat ini juga memiliki efek analgetik apabila diberikan secara sistemis karena memulihkan respon adrenergic simpatis yang berlebihan di reseptor sentral dan perifer.
Pendekatan Nonfarmakologik
Metode non farmakologik untuk mengendalikan nyeri dapat dibagi menjadi dua kelompok : terapi dan modalitas fisik serta strategi kognitif-perilaku. Terapi fisik untuk meredakan nyeri mencakup beragam bentuk stimulasi kulit (pijat, stimulasi saraf dengan listrik transkutis, akupungtur,, aplikasi panas atau dingin, olahraga). Sedangkan, startegi kognitif-prilaku bermanfaat dalam mengubah persepsi pasien terhadap nyeri, dan member pasien perasaan yang lebih mampu untuk mengendalikan nyeri. Strategi ini mencakup relaksasi, penciptaan khayalan (imagery), hypnosis, dan biofeedback.

1 komentar:

  1. mau tanya, dok :)

    golongan obat terapi adjuvan 13f itu untuk terapi penyakit apa aja, dok? thx infonya

    br:
    Min

    BalasHapus